Selasa, 23 Maret 2010

penanganan fisioterapi pada post operasi fraktur cruris 1/3 distal

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pembukaan UUD 1945 alenia 4 disebutkan tujuan Pembangunan Nasional adalah tercapainya kesejahteraan umum yang berarti mewujudkan masyarakat makmur dan berkeadilan sosial. Kriteria bahwa kesejahteraan umum dikatakan berhasil jika derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat tercapai. Pemerintah Indonesia telah menyusun kebijakan nasional mengenai pembangunan berwawasan kesehatan sebagai strategi nasional menuju Indonesia sehat 2010.
Upaya pelayanan kesehatan yang semula mengutamakan aspek pengobatan saja berangsur-angsur berkembang dan mencakup upaya peningkatan (promotif), upaya pencegahan (preventif), upaya penyembuhan (kuratif) dan upaya pemulihan (rehabilitatif). Fisioterapi sebagai salah satu tenaga kesehatan juga menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat umum dalam mengembangkan, memelihara dan memulihkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional.
Rumah Sakit merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat dalam hal pengobatan, pencegahan, penyembuhan serta rehabilitasi medik. Pelayanan pada Rumah Sakit berangsur - angsur semakin berkembang seiring dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dalam kasus ini, penanganan yang dilakukan Rumah Sakit terutama dalam bidang ilmu bedah, adalah dengan metode operatif yaitu suatu bentuk operasi dengan pemasangan Open Reduction Internal Fixatie (ORIF) dimana jenis internal fiksasi yang digunakan dalam kasus ini berupa plate and screw. Pada kasus ini metode operasi yang digunakan internal fixasi karena dengan metode konservatif sudah tidak mungkin dapat dilakukan, hal ini dikarenakan fragmen fraktur sulit untuk menyambung dengan baik. Selain itu, penyambungan tulang kontak fragmen langsung lebih baik dari pada tanpa operasi (Appley, 1995). Alasan lain, karena proses penyambungan tulang lebih cepat sehingga pasien tidak kehilangan banyak waktu serta biaya untuk rawat inap di Rumah Sakit (John C. Adams, 1992).
Fraktur adalah suatu perpatahan pada kontinuitas struktur tulang. Patahan tadi mungkin tidak lebih dari suatu retakan atau perimpilan korteks, biasanya patahan tersebut lengkap dan fragmen tulangnya bergeser. Jika kulit diatasnya masih utuh, disebut fraktur tertutup sedangkan jika salah satu dari rongga tubuh tertembus disebut fraktur terbuka (Appley, 1995). Salah satu penyebab fraktur adalah adanya tekanan atau hantaman yang sangat keras dan diterima secara langsung oleh tulang.
Sebanding dengan banyaknya pasien kasus fraktur di Rumah Sakit yang mendapatkan pelayanan medis kurang adekuat atau kurang optimal oleh karena keterbatasan biaya dan fasilitas, maka akan berdampak pada pemulihan dengan hasil sisa atau sequele. Secara tidak langsung hasil sisa tersebut terutama pada fraktur cruris mengalami gangguan fungsional sehingga berakibat pada produktivitas kerja yang akhirnya akan menurunkan pendapatan perkapita negara sebagai sumber dana dan sarana pembangunan nasional.
Pada kasus fraktur terutama post operasi fraktur cruris menimbulkan berbagai macam gangguan yaitu impairment, functional limitation dan disability. Fisioterapi sebagai salah satu tenaga medis, mempunyai peran yang sangat penting terutama dalam mengatasi permasalahan akibat tindakan operasi. Adapun modalitas yang digunakan fisioterapi pada kasus fraktur cruris 1/3 distal dextra disini adalah dengan terapi latihan.

A. Latar Belakang Masalah
Menurut gambaran epidemiologinya, fraktur merupakan masalah kesehatan yang dapat menimbulkan kecacatan paling tinggi dari semua trauma kendaraan bermotor. Data yang tercatat di RSO Dr. Soeharso Surakarta menunjukkan bahwa penderita fraktur pada tahun 2002 sebanyak 863 orang dengan penderita fraktur cruris 74 orang, tahun 2003 sebanyak 830 orang dengan penderita fraktur cruris 66 orang, tahun 2004 sebanyak 889 orang dengan penderita fraktur cruris 54 orang, dan tahun 2005 sebanyak 4549 orang dengan penderita fraktur cruris 1613 orang (RSO Dr. Soeharso).
Pada kondisi post operasi fracture cruris 1/3 distal dextra akan menimbulkan problematik seperti (1) oedem, (2) nyeri, (3) keterbatasan lingkup gerak sendi ankle, (4) gangguan aktivitas fungsional dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti berjalan.
Dilihat dari aspek fisioterapi, fracture cruris 1/3 distal dextra dapat menimbulkan berbagai tingkat gangguan yaitu impairment berupa bengkak pada ankle dan tungkai bawah, nyeri sekitar luka operasi, keterbatasan luas gerak sendi ankle. Dampak lebih lanjut adalah adanya satu bentuk functional limitation yang berupa kesulitan dalam melakukan aktivitas fungsional terutama jongkok, berdiri dan berjalan. Disamping itu timbul juga adanya ketidakmampuan dalam melaksanakan aktivitasnya seperti semula yaitu sebagai buruh yang disebut dengan disability.
Modalitas yang digunakan oleh fisioterapi dalam upaya pemulihan dan pengembalian kemampuan fungsional pada pasien fraktur adalah dengan terapi latihan. Terapi latihan merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan latihan gerak pasif dan aktif (Kisner, 1996). Macam dari terapi latihan tersebut diantaranya (1) breathing exercise, (2) posisioning (3) static contraction, (4) passive exercise, (5) active exercise, (6) latihan jalan. Terapi latihan disini bermanfaat dalam mengurangi nyeri akibat oedem dan luka incisi, mengurangi adanya pembengkakan pada daerah sekitar fraktur, mempertahankan, menambah atau memelihara luas gerak pergelangan kaki serta melatih aktivitas jalan sehingga dengan latihan tersebut pasien diharapkan bisa kembali beraktivitas seperti semula.
Peran fisioterapi sangat penting dalam mengatasi permasalahan akibat dari tindakan operasi yaitu dengan memberikan terapi latihan yang berupa (1) static contraction yang dikombinasi dengan positioning (elevasi) untuk pengurangan oedem pada tungkai bawah sehingga nyeri dapat berkurang (Kisner, 1996), (2) latihan gerak pasif untuk pemeliharaan dan pengembalian luas gerak sendi ankle (Kisner, 1996), (3) latihan gerak aktif untuk pemeliharaan luas gerak sendi ankle (Kisner, 1996), (4) latihan ambulasi untuk aktivitas fungsional berjalan secara bertahap.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang muncul pada post operasi fracture cruris 1/3 distal dextra dengan pemasangan plate and screw di tinjau dari segi fisioterapi sangat kompleks, karena berhubungan dengan impairment, functional limitation dan disability. Dengan permasalahan - permasalahan tersebut rumusan masalah yang dapat penulis kemukakan adalah (1) apakah breathing exercise dapat mencegah komplikasi paru pada pasien post operasi? (2) static contraction yang dikombinasi dengan elevasi dapat mengurangi oedem sehingga nyeri dapat berkurang? (3) apakah passive exercise dapat memelihara dan mengembalikan luas gerak sendi ankle? (4) apakah active exercise dapat memelihara luas gerak sendi ankle? (5) apakah latihan jalan dapat meningkatkan kemampuan fungsional jalan?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah (1) untuk mengetahui manfaat breathing exercise untuk mencegah komplikasi paru post operasi (2) untuk mengetahui manfaat static contraction dan positioning (elevasi) terhadap pengurangan oedem sehingga nyeri dapat berkurang, (3) untuk mengetahui manfaat passive exercise terhadap pemeliharaan dan pengembalian luas gerak sendi ankle, (4) untuk mengetahui manfaat active exercise terhadap pemeliharaan luas gerak sendi ankle, (5) untuk mengetahui manfaat latihan jalan terhadap peningkatan kemampuan aktifitas fungsional jalan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Kasus
1. Anatomi Fungsional
a. Sistem Tulang
Tungkai bawah terdiri dari 2 tulang yaitu tulang tibia dan tulang fibula. Tulang tibia sering disebut juga dengan tulang kering, sedangkan tulang fibula disebut juga dengan tulang betis. Tibia adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan mempunyai dua ujung. Tulang tibia terletak disebelah medial fibula yang terdiri dari 3 bagian, yaitu epiphysis proksimalis, diaphysis dan epiphysis distalis. Sedangkan tulang fibula terletak di sebelah lateral tibia, dan juga terdiri dari 3 bagian.
b. Sistem Sendi
Sendi pergelangan kaki terdiri dari 3 persendian yaitu sendi tibiofibularis distalis, sendi talocruralis dan sendi subtalaris. Gerakan yang dapat dilakukan sendi pergelangan kaki adalah plantar fleksi, dorsi fleksi, eversi, dan inversi (Norkin,1995). Luas gerak sendi pergelangan kaki untuk gerak plantar fleksi - dorsal fleksi S 20˚- 0˚-50˚, sedang luas gerak sendi untuk gerak eversi - inversi R 40˚- 0˚- 20˚ yang diukur pada posisi anatomis (Russe, 1975).
Dilihat dari aspek arthrokinematika, saat dorsal fleksi ankle talus akan sliding kea rah posterior dan fibula akan bergerak kea rah proximal.


c. Sistem otot
Tulang merupakan alat gerak tubuh pasif, sedangkan otot merupakan alat gerak tubuh aktif. Dengan adanya kontraksi dari otot akan timbul gerakan pada sendi atau tulang. Otot penggerak pergelangan kaki adalah otot gastrocnemius, otot plantaris, otot soleus, otot tibialis, otot fleksor halucis longus, otot extensor digitorum longus, otot peroneus longus (Daniels and Wortingham, 1989).


Gambar 1
Tulang Tibia dan Fibula kanan tampak depan (Putz, 2000)
Keterangan gambar
1. Tulang fibula
2. Tulang tibia



Gambar 2
Otot tungkai bawah kanan tampak depan (Putz, 2000)

Keterangan gambar :
1. m. Fibularis (peroneus) longus
2. m. Fibularis anterior
3. m. Gastrocnemius
4. m. Soleus
5. m. Digitorum longus
6. m. Fibularis brevis
7. m. Extensor digitorum longus
8. m. Extensor hallucis longus





Gambar 3
Otot tungkai bawah kanan tampak belakang (Putz, 2000)

Keterangan gambar :
1. m. Gastrocnemius lateralis
2. m. Gastrocnemius medialis
3. m. Gastrocnemius tendo
4. m. Soleus



B. Patologi dan Problematika Fisioterapi
1. Definisi
a. Terapi latihan
Terapi latihan adalah salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan latihan - latihan gerak tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Kisner, 1996).
Tujuan dari terapi latihan adalah untuk mengatasi gangguan fungsi dan gerak, mencegah timbulnya komplikasi, mengurangi nyeri dan oedem serta melatih aktivitas fungsional.
Jenis terapi latihan yang digunakan dalam kasus ini antara lain (1) breathing exercise, (2) static contraction, (3) passive exercise, (4) active exercise, (5) latihan transver dan ambulasi.
b. Fraktur cruris 1/3 distal dextra
Fraktur adalah suatu perpatahan pada kontinuitas struktur tulang (Appley, 1995). Sedangkan cruris adalah tungkai bawah yang terdiri dari tulang tibia dan fibula. 1/3 distal dextra adalah 1/3 bagian bawah dari tungkai kanan. Jadi, fraktur cruris 1/3 distal dextra adalah patah tulang yang terjadi pada tulang tibia dan fibula bagian kanan yang terletak pada 1/3 bagian bawah dari tulang.
c. Open Reduction Internal Fixatie (ORIF)
Open Reduction Internal Fixatie (ORIF) adalah suatu jenis operasi dengan pemasangan internal fixasi yang dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat direduksi secara cukup dengan close reduction, atau ketika plaster gagal untuk mempertahankan posisi yang tepat pada fragmen fraktur (John C. Adams, 1992). Internal fixasi yang digunakan pada kasus ini berupa plate and screws yang merupakan sebuah lempengan besi dan berupa sekrup yang dipasang pada tulang yang patah dan berfungsi sebagai immobilisasi. Biasanya digunakan pada fraktur tulang panjang dengan tipe simple tranverse dan simple oblique fraktur.
2. Etiologi
Menurut etiologinya fraktur dibedakan menjadi 3 yaitu (1) fraktur yang disebabkan oleh trauma, baik langsung maupun tak langsung, (2) fraktur yang disebabkan oleh kelelahan pada tulang, (3) fraktur karena keadaan patologi (Appley,1995). Pada kasus ini penulis memilih fraktur yang disebabkan karena trauma langsung yaitu karena kecelakaan lalulintas atau benturan, yang terjadi perpatahan pada 1/3 distal cruris dextra.
Etiologi atau penyebab lain dari permasalahan ini adalah adanya tindakan operasi untuk reduksi dan pemasangan fixasi. Pada operasi ini dilakukan incisi untuk pemasangan internal fixasi berupa plate and screw sehingga akan terjadi kerusakan kulit, jaringan lunak dan luka pada otot yang menyebabkan terjadinya oedem, nyeri, keterbatasan luas gerak sendi serta gangguan fungsional pada tungkai.
3. Perubahan Patologi
Operasi pada fraktur cruris 1/3 distal dextra akan dilakukan incisi pada tungkai bawah bagian lateral. Dengan operasi ini akan mengakibatkan kerusakan jaringan lunak ataupun kerusakan saraf sensoris sehingga akan menimbulkan nyeri. Bila pembuluh darah terpotong, maka cairan dalam sel akan menuju jaringan dan menyebabkan pembengkakan. Cairan ini akan menekan ujung saraf sensoris sehingga akan timbul nyeri dan pergerakan pada daerah tersebut menjadi terbatas.
Waktu penyembuhan fraktur sangat bervariasi antara individu satu dengan individu lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain: usia pasien, jenis fraktur, banyaknya displacement fraktur, lokasi fraktur, pasokan darah pada fraktur, dan kondisi medis yang menyertai. Pada fraktur yang tidak kompleks, bukti mikroskopik dari penyembuhan biasanya dapat terlihat pada tempat fraktur dalam 15 jam setelah cedera (Garrison, 1996).
Tulang mempunyai kemampuan menyambung setelah terjadi patah tulang. Pada fraktur, proses penyambungan tulang dibagi dalam 5 tahap yaitu:
a. Hematoma
Hematoma adalah suatu proses perdarahan dimana darah pada pembuluh darah tidak sampai pada jaringan sehingga osteocyt mati, akibatnya terjadi necrose. Hematoma yang banyak mengandung fibrin melindungi tulang yang rusak. Setelah 24 jam suplai darah ke area fraktur mulai meningkat. Stadium ini berlangsung 1 sampai 3 hari (Gartland, 1974).
b. Proliferasi
Proliferasi adalah proses dimana jaringan seluler yang berisi cartilage keluar dari ujung – ujung fragmen sehingga tampak di beberapa tempat bentukan pulau – pulau cartilage. Pada stadium ini terjadi pembentukan granulasi jaringan yang banyak mengandung pembuluh darah, fibroblast dan osteoblast. Haematoma merupakan dasar untuk proses penggantian dan penyembuhan tulang, yang berlangsung 3 hari sampai 2 minggu (Gartland, 1974).
c. Pembentukan callus atau kalsifikasi
Pembentukan callus atau kalsifikasi adalah proses dimana setelah terjadi bentukan cartilago yang kemudian berkembang menjadi fibrous callus sehingga tulang akan menjadi sedikit osteoporotik. Pembentukan ini terjadi setelah granulasi jaringan menjadi matang. Jika stadium putus maka proses penyembuhan luka menjadi lama. Fase ini berlangsung 2 sampai 6 minggu (Gartland,1974).
d. Konsolidasi
Konsolidasi adalah suatu proses dimana terjadi penyatuan pada kedua ujung tulang. Callus yang tidak diperlukan mulai diabsorbsi (Gartland, 1974). Pada tahap ini tulang sudah kuat tapi masih berongga. Fase ini biasanya butuh waktu 3 minggu sampai 6 bulan.
e. Remodeling
Remodeling adalah proses dimana tulang sudah terbentuk kembali atau tersambung dengan baik. Pada tahap ini tulang semakin menguat secara perlahan – lahan terabsorbsi dan terbentuk canalis medularis. Tahap ini berlangsung selama 6 minggu sampai 1 tahun (Gartland, 1974).
Perubahan patologi setelah dilakukan operasi timbul permasalahan yang berupa :
a. Nyeri
Nyeri merupakan adanya kerusakan jaringan, dimana jaringan akan mengeluarkan zat kimia seperti bradikinin, serotonin, histamine sebagai reaksi dari kerusakan jaringan, zat kimia tersebut akan merangsang nociseptik yang akan menambah nyeri daerah tersebut (Kisner, 1996).
b. Oedem
Oedem dapat timbul karena adanya kerusakan pada pembuluh darah akibat incisi, sehingga cairan yang melewatinya tidak lancar dan terjadi akumulasi cairan sehingga timbul bengkak.
c. Keterbatasan LGS
Permasalahan ini timbul karena adanya rasa nyeri, oedem, spasme otot, kelemahan otot sehingga pasien enggan untuk bergerak dan beraktivitas. Keadaan ini menyebabkan perlengketan jaringan dan keterbatasan luas gerak sendi yang dalam jangka waktu lama akan berpengaruh pada penurunan kemampuan aktivitas fungsional terutama berjalan.
4. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala klinis yang sering ditemukan pada pasien post operasi fraktur cruris 1/3 distal dextra antara lain (1) oedem disekitar tungkai bawah, (2) rasa nyeri akibat adanya oedem dan luka incise post operasi, (3) keterbatasan gerak sendi ankle, (4) gangguan aktivitas fungsional, terutama gangguan jalan (Appley, 1995).
5. Komplikasi
Pada pasien post operasi fraktur cruris 1/3 distal dextra, komplikasi yang mungkin terjadi yaitu komplikasi yang berhubungan dengan setelah dilakukannya tindakan operasi, antara lain:
a. Kekakuan sendi
Kekakuan sendi biasanya terjadi akibat oedem dan fibrosis pada kapsul, ligamen, dan otot disekitar sendi dan terjadi perlengketan antar jaringan lunak.
b. Komplikasi kulit
Immobilisasi tanpa alat pemulih, tekanan yang semestinya dan adanya aplikasi gips pada daerah fraktur yang tidak benar dapat menyebabkan timbulnya ulkus tekan (Garrison, 1996).
c. Infeksi
Infeksi biasanya terjadi karena luka incisi yang tidak steril yang dapat menimbulkan adanya nyeri.
Sedangkan untuk komplikasi karena fraktur, antara lain:
a. Shorthening
Shorthening terjadi karena pemendekan pada tulang yang diakibatkan mal union, loss of bone dan gangguan epiphysial plate pada anak – anak.
b. Mal union
Mal union merupakan penyambungan yang tidak sesuai dengan posisi yang semestinya, seperti angulasi, overlapping dan rotasi. Distribusi gaya tekan yang tidak baik menyebabkan gangguan fungsi dan timbulnya perubahan – perubahan osteoarthritis yang lebih awal pada sendi – sendi yang berdekatan. Bila ada gangguan fungsi berat tindakan rekonstruksi harus dilakukan terhadap tulang atau sendi yang mengalami mal union (Bloch, 1986).
c. Non union
Non union adalah keadaan dimana fragmen gagal untuk menyambung walaupun telah diimobilisasi. Hal ini karena pembentukan callus terganggu dan ujung – ujung fragmen tertutup oleh jaringan fibrocartilago (Bloch, 1986).
d. Delayed union
Delayed union adalah terjadinya penyambungan tulang yang terlambat karena infeksi, suplai darah tidak lancar dan adanya gerakan pada ujung fragmen. Beberapa tempat yang sering mengalami penyambungan lambat dengan sirkulasi yang kurang diantaranya os naviculare dari os carpalia, colum femoris dan spertiga bagian bawah tibia (Bloch, 1986).
6. Prognosis
Prognosis pada post operasi fraktur cruris 1/3 distal dextra tergantung pada jenis dan bentuk fraktur, bagaimana operasinya, dan peran dari fisioterapi. Prognosis dikatakan baik jika penderita secepat mungkin dibawa ke rumah sakit sesaat setelah terjadi trauma, kemudian jenis fraktur yang diderita ringan, bentuk dan jenis perpatahan simple, kondisis umum pasien baik, usia pasien relative muda, tidak terdapat infeksi pada fraktur dan peredaran darah lancar. Penanganan yang diberikan seperti operasi dan pemberian internal fiksasi juga sangat mempengaruhi terutama dalam memperbaiki struktur tulang yang patah. Setelah operasi dengan pemberian internal fiksasi berupa plate and screw, diperlukan terapi latihan untuk mengembalikan aktivitas fungsionalnya. Pemberian terapi latihan yang tepat akan memberikan prognosis yang baik bilamana (1) quo ad vitam baik jika pada kasus ini tidak mengancam jiwa pasien, (2) quo ad sanam baik jika jenis perpatahan ringan, usia pasien relative muda dan tidak ada infeksi pada fraktur, (3) quo ad fungsionam baik jika pasien dapat melakukan aktivitas fungsional, (4) quo ad cosmeticam yang disebut juga dengan proses remodeling baik jika tidak terjadi deformitas tulang. Dalam proses rehabilitasi, peran fisioterapi sangat penting terutama dalam mencegah komplikasi dan melatih aktivitas fungsionalnya.
7. Deskripsi Problematika Fisioterapi
Problematika fisioterapi yang sering muncul pada post operasi fraktur cruris 1/3 distal dextra meliputi impairment, functional limitation dan disability.
a. Impairment
Problematika yang muncul adalah (1) adanya oedem pada ankle dan tungkai bawah terjadi karena suatu reaksi radang atau respon tubuh terhadap cidera jaringan, (2) adanya nyeri gerak pada ankle akibat luka sayatan operasi yang menyebabkan ujung - ujung saraf sensoris teriritasi dan karena adanya oedem pada daerah sekitar fraktur, (3) penurunan luas gerak sendi ankle karena adanya nyeri dan oedem pada daerah sekitar fraktur.


b. Functional limitation
Pada functional limitation terdapat keterbatasan aktifitas fungsional terutama dalam melakukan aktivitas fungsional terutama berdiri dan berjalan..
c. Disability
Disability merupakan ketidakmampuan dalam melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan disekitarnya yaitu kesulitan dalam melakukan aktivitasnya sebagai seorang buruh karena pasien mengalami gangguan dalam aktivitas berjalan.
C. Teknologi Intervensi Fisioterapi
Terapi latihan merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan, ketahanan dan kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas, stabilitas, rileksasi, koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional (Kisner, 1996).
Terapi latihan yang dilakukan adalah:
1. Breathing Exercise
Breathing exercise merupakan suatu tehnik latihan pernafasan dengan menarik nafas lewat hidung atau inspirasi dan mengeluarkan nafas lewat mulut atau ekspirasi. Tehnik latihan pernafasan yang digunakan dalam kasus ini adalah deep breathing exercise. Hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya komplikasi paru pada post operasi akibat bius general. Tehnik latihan pernafasan ini menekankan pada inspirasi maksimal dan panjang lalu dihembuskan dengan perlahan sampai akhir expirasi dengan tujuan mempertahankan alveolus tetap mengembang, mobilisasi thorak, untuk meningkatkan oksigenasi dan mempertahankan volume paru.
2. Positioning
Positioning yaitu perubahan posisi anggota gerak badan yang sakit. Untuk mengurangi oedema pada tungkai, maka tungkai dielevasikan dengan cara di ganjal bantal setinggi 30° - 450. Selama pasien sadar, dosisnya adalah satu jam tungkai dielevasikan dan satu jam tungkai dikembalikan ke posisi semula.
3. Static contraction
Static contraction merupakan suatu terapi latihan dengan cara mengontraksikan otot tanpa disertai perubahan panjang otot maupun pergerakan sendi (Kisner, 1996). Tujuan static contraction adalah memperlancar sirkulasi darah sehingga dapat membantu mengurangi oedem dan nyeri serta menjaga kekuatan otot agar tidak terjadi atrofi.
4. Passive exercise
Passive exercise merupakan suatu gerakan yang dihasilkan dari kekuatan luar dan bukan merupakan kontraksi otot yang disadari. Kekuatan luar tersebut dapat berasal dari gravitasi, mesin, individu atau bagian tubuh lain dari individu itu sendiri (Kisner, 1996). Gerakan ini terbagi menjadi 2 gerakan:
a. Relaxed passive exercise
Relaxed passive exercise merupakan gerakan murni yang berasal dari terapis tanpa disertai gerakan dari anggota tubuh pasien. Tujuan dari gerakan ini untuk melatih otot secara pasif, sehingga diharapkan otot menjadi rileks dan dapat mengurangi nyeri akibat incisi serta mencegah terjadinya keterbatasan gerak dan elastisitas otot (Kisner, 1996).

b. Force passive exercise
Force passive exercise gerakan berasal dari terapis atau luar dimana pada akhir gerakan diberikan penekanan. Tujuan gerakan ini untuk mencegah terjadinya kontraktur dan menambah luas gerak sendi serta untuk mencegah timbulnya perlengketan jaringan (Kisner, 1996).
5. Active exercise
Active exercise merupakan gerakan yang dilakukan karena adanya kekuatan otot dan anggota tubuh sendiri tanpa bantuan, gerakan yang dihasilkan oleh kontraksi dengan melawan gravitasi (Basmajian, 1978). Tujuan active exercise (1) memelihara dan meningkatkan kekuatan otot, (2) mengurangi bengkak disekitar fraktur, (3) mengembalikan koordinasi dan ketrampilan motorik untuk aktivitas fungsional (Kisner, 1996).
6. Latihan jalan
Latihan jalan merupakan aspek terpenting pada penderita sehingga mereka dapat kembali melakukan aktifitasnya seperti semula. Latihan ini dilakuakan secara bertahap. Dimulai dari aktivitas di tempat tidur seperti bergeser (bridging), bangun, duduk dengan kaki terjuntai ke bawah (high sitting) kemudian latihan berdiri, ambulasi berupa jalan dengan menggunakan walker kemudian ditingkatkan dengan menggunakan kruk (tergantung kondisi umum pasien). Latihan berjalan secara Non Weight Bearing (NWB) dengan menggunakan metode three point gait pada hari ke 3 atau sesuai kemampuan pasien kemudian ditingkatkan dengan cara Partial Weight Bearing (PWB) jika pada pasien tersebut sudah terjadi pembentukan callus atau kurang lebih 3 minggu (Gartland, 1974). Dosis awal latihan 30% menumpu berat badan dan kemudian ditingkatkan menjadi 80% menumpu berat badan, lalu ditingkatkan lagi dengan latihan Full Weight Bearing. Tujuan dari latihan ini agar pasien dapat melakukan ambulasi secara mandiri walaupun masih dengan bantuan alat.
7. Edukasi
Edukasi yang perlu diberikan pada pasien yaitu home program yang dapat
dilakukan di bangsal maupun di rumah, seperti (1) melakukan aktivitas sendiri atau dengan bantuan orang lain untuk berlatih seperti yang telah diajarkan, (2) untuk mengurangi bengkak pasien dianjurkan mengganjal tungkai yang sakit dengan guling saat pasien tidur terlentang, (3) kurang lebih selama 2 minggu atau lebih setelah post operasi pasien dianjurkan untuk tidak menumpu dengan kaki yang sakit sampai terjadi penyambungan callus.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pengkajian Fisioterapi
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab dengan sumber data. Dengan anamnesis dapat diperoleh data-data yang dibutuhkan dalam menentukan diagnosa dan terapi latihan yang akan diberikan. Macam anamnesis ada 2 yaitu autoanamnesis dan heteroanamnesis. Pada kasus ini anamnesis yang dilakukan secara autoanamnesis.
a. Anamnesis umum
Anamnesis umum berisi tentang identitas pasien secara lengkap. Dalam anamnesis ditemukan data seperti (1) nama, (2) umur, (3) jenis kelamin, (4) agama, (5) pekerjaan, (6) alamat. Data yang diperoleh akan digunakan untuk tujuan terapi akhir yang diprogramkan dan disesuaikan dengan kegiatan keseharian dari pasien.
b. Anamnesis khusus
Anamnesis khusus merupakan data informasi tentang keluhan utama pasien, adanya nyeri dan bengkak pada tungkai dan kaki, adanya penurunan LGS pada sendi pergelangan kaki, adanya gangguan dalam aktivitas jalan.
Riwayat penyakit sekarang ditanyakan tentang kapan terjadinya fraktur, bagaimana proses terjadinya, posisi jatuhnya, sudah pernah dibawa kemana saja dalam menangani fraktur tersebut dan ditanyakan juga tentang faktor apa saja yang dapat memperingan atau memperberat keluhan utama dari pasien.
Riwayat penyakit dahulu ditanyakan tentang penyakit apa saja yang pernah diderita oleh pasien.
Riwayat penyakit penyerta berisikan tentang berbagai macam penyakit yang diderita pasien saat itu.
Riwayat pribadi merupakan riwayat tentang riwayat pribadi pasien seperti aktivitas sehari – hari, hobi, keluarga, dan lain – lain.
Riwayat keluarga bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya penyakit – penyakit yang bersifat menurun dari keluarga, ataupun penyakit menular orang terdekat.
Berdasarkan anamnesis sistem dapat diketahui tentang keluhan yang terjadi, misalnya gangguan kepala dan leher, kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, persarafan, serta musculoskeletal yaitu apakah terdapat kerterbatasan gerak pada sendi pergelangan kaki serta adanya penurunan kekuatan otot-otot penggerak sendi pergelangan kaki.
2. Pemeriksaan fisik
a. Tanda- tanda vital
Tanda-tanda vital terdiri dari (1) tekanan darah, (2) denyut nadi, (3) pernapasan, (4) temperatur. Data tersebut digunakan untuk mengetahui apakah ada hipertensi, hipotensi, tacikardi, obesitas dan sebagainya.
b. Inspeksi
Inspeksi merupakan suatu pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati keadaan pasien, mengenai keadaan umum, sikap tubuh, dan warna kulit.
c. Palpasi
Palpasi adalah suatu pemeriksaan yang secara langsung kontak dengan pasien, dengan meraba, menekan, dan memegang bagian tubuh pasien untuk mengetahui nyeri tekan dan suhu.

d. Kemampuan aktivitas fungsional
Terapis melihat apakah pasien sudah bisa bergeser ke kanan atau ke kiri, apakah pasien sudah bisa duduk tegak, mampu miring sendiri, apakah sudah dapat berdiri dengan atau tanpa bantuan dari orang lain. Perlu ditanyakan juga apakah pasien dalam buang air besar mengalami gangguan dan apakah pasien sudah bisa berjalan.
3. Pemeriksaan gerak dasar
a. Gerak pasif
Pemeriksaan gerakan yang dilakukan oleh terapis kepada pasien dimana pasien dalam keadaan pasif dan rileks. Tujuan dari pemeriksaan gerak pasif untuk mendapatkan data informasi tentang luas gerak sendi pasif ankle, stabilitas sendi, rasa nyeri dan end feel.
b. Gerak aktif
Pasien diminta menggerakkan anggota gerak yang diperiksa secara aktif, terapis melihat dan memberikan aba-aba. Tujuan tes ini adalah untuk mendapatkan data informasi tentang bagaimana LGS aktif ankle, rasa nyeri dan nilai kekuatan otot.
c. Gerak isometric melawan tahanan
Tujuan dari tes ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya nyeri dan adanya penurunan kekuatan otot terutama sendi ankle. Dilakukan dengan cara pasien disuruh mengkontraksikan otot dan mencoba untuk melakukan gerakan tapi diberi panahanan oleh terapis sehingga tidak terjadi gerakan dan penambahan luas gerak sendi.
4. Pemeriksaan spesifik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui informasi khusus yang belum diperoleh pada pemeriksaan dasar. Pemeriksaan pada kasus ini meliputi:
a. Pemeriksaan nyeri
Pemeriksaan dengan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS), yaitu pengukuran derajat nyeri dengan sepuluh skala penilaian yaitu dengan menunjukkan satu titik pada sebuah garis pada skala nyeri (0 - 100) dengan besarannya dalam satuan milimeter, panjang garis mulai dari titik tidak nyeri sampai titik yang ditunjuk menunjukkan besarnya nyeri (Sri Surini, 2002). Terapis menjelaskan terlebih dahulu kepada pasien tentang penilaian diatas, kemudian pasien diminta untuk menunjuk salah satu titik dalam garis tersebut yang dapat mewakili rasa nyeri yang dirasakan pada saat itu. Penilaian dilakukan pada saat pasien diam, digerakkan secara pasif dan aktif oleh terapis.
b. Pemeriksaan LGS
Pemeriksaan luas gerak sendi dengan menggunakan goniometer. Pada ankle meliputi gerakan dorsi fleksi, plantar fleksi, eversi, dan inversi.
Posisi netral untuk gerakan dorsi fleksi adalah sesuai dengan posisi anatomis kaki. Gerakan pada ankle terjadi pada bidang sagital dan axis gerakannya pada bidang frontal yaitu pada malleolus lateralis. Dalam melakukan pemeriksaan as goniometer diletakkan 15 cm dari malleolus lateralis. Tangkai statis sejajar dengan axis longitudinal tulang tibia sedangkan tangkai dinamis sejajar dengan axis longitudinal tulang metatarsal V (Russe, 1975).
c. Anthropometri
Pengukuran lingkar segmen tubuh sangat penting dalam pemeriksaan ada tidaknya pembengkakan. Alat ukur yang digunakan adalah midline. Pada prinsipnya pengukuran lingkar anggota gerak dilakukan dengan menggunakan patokan yaitu tuberositas tibiae sampai malleolus lateralis. Selain itu dilakukan pengukuran panjang tungkai dari SIAS sampai malleolus medialis. Pengukuran lingkar segmen yang mengalami oedem perlu dilakukan, kemudian dibandingkan antara tungkai yang sakit dengan tungkai yang sehat.
d. Pemeriksaan aktivitas fungsional
Untuk menilai perkembangan aktivitas fungsional dari pasien pada saat sebelum dan sesudah pemberian terapi latihan, terapis dapat melihat perkembangan pasien mulai dari jongkok, berdiri dan berjalan. Alat ukur yang digunakan dalam pengukuran aktivitas fungsional yaitu menggunakan skala Jette. Aktivits yang dites meliputi berdiri dari posisi duduk, berjalan 15 m dan naik turun tangga 3 trap. Keterangan penilaian (1) nyeri, berkaitan dengan derajat nyeri saat melakukan aktivitas, (2) kesulitan, berkaitan dengan deajat kesulitan untuk malaukan aktivitas, (3) ketergantungan, berkaitan dengan derajat ketergantungan untuk melakukan aktivitas. Dalam menilai masing – masing dimensi yaitu dengan menggunakan pilihan ganda yang masing – masing dimensi dibagi menjadi 4 skala untuk dimensi nyeri dan 5 skala untuk dimensi kesulita dan ketergantungan ( Jette AM, 1980 dikutip oleh Slamet, 2000 ).
TABEL I
SKALA JETTE
Bentuk aktivitas Kemampuan beraktivitas Nilai
Berdiri dari posisi duduk Nyeri 1: tidak nyeri
2: nyeri
3: nyeri sedang
4: nyeri sangat
Kesulitan 1: sangat mudah
2: agak mudah
3: agak mudah juga tidak sulit
4: agak sulit
5: sangat sulit
Ketergantungan 1: tanpa bantuan
2: butuh bantuan alat
3: butuh bantuan orang lain
4: butuh bantuan alat dan orang lain
5: tidak dapat melakukan
Berjalan 15 meter Nyeri 1: tidak nyeri
2: nyeri
3: nyeri sedang
4: nyeri sangat
Kesulitan 1: sangat mudah
2: agak mudah
3: agak mudah juga tidak sulit
4: agak sulit
5: sangat sulit
Ketergantungan 1: tanpa bantuan
2: butuh bantuan alat
3: butuh bantuan orang lain
4: butuh bantuan alat dan orang lain
5: tidak dapat melakukan
Naik turun tangga Nyeri 1: tidak nyeri
2: nyeri
3: nyeri sedang
4:nyeri sangat
Kesulitan 1: sangat mudah
2: agak mudah
3: agak mudah juga tidak sulit
4: agak sulit
5: sangat sulit
Ketergantungan 1: tanpa bantuan
2: butuh bantuan alat
3: butuh bantuan orang lain
4: butuh bantuan alat dan orang lain
5: tidak dapat melakukan
(Slamet Parjoto, 2000)
5. Diagnosa Fisioterapi
Pada pasien post operasi fraktur cruris 1/3 distal dimungkinkan terjadi gangguan impairment yaitu (1) oedem pada tungkai bawah dan ankle, (2) nyeri karena oedem dan luka incisi, (3) keterbatasan LGS ankle. Sedangkan gangguan yang terjadi pada functional limitation yaitu penurunan ambulasi dan perawatan diri yaitu adanya keterbatasan dalam aktivitas fungsional tungkai bawah. Pada disability gangguan yang terjadi yaitu adanya ketidakmampuan dalam melaksanakan aktivitas yang berhubungan dengan lingkungan sekitar yang berupa berinteraksi atau bersosialisasi dengan orang lain.

B. Tujuan Fisioterapi
Pada kasus ini terapi yang diberikan bertujuan untuk (1) mengurangi oedem, (2) mengurangi nyeri, (3) menigkatkan luas gerak sendi pada ankle, (4) mengajarkan latihan jalan pada pasien sehingga dengan diberikannya terapi latihan ini diharapkan pasien dapat kembali beraktivitas seperti semula.
C. Rencana Pelaksanaan Terapi
1. Breathing exercise
Breathing exercise yang dilakukan adalah deep breathing exercise. Deep breathing exercise ini dilakukan dengan posisi pasien tidur terlentang. Pelaksanaannya dengan cara pasien diminta untuk menghirup nafas dalam melalui hidung dan menghembuskannya melalui mulut secara perlahan. Dimulai setelah pasien sadar dari tindakan operasi, biasanya satu atau dua hari setelah operasi. Gerakan ini dilakukan 4 – 6 kali.
2. Static contraction
Tujuan dari static contraction adalah untuk mengurangi oedem sehingga nyeri berkurang. Posisi pasien pada hari pertama masih tidur terlentang dengan disertai kaki yang sakit dielevasikan antara 30 - 45˚ selama 10 – 15 menit, dengan posisi terapis berada disamping penderita. Terapis meletakkan tangannya dibawah betis pasien, kemudian pasien diminta menekan tangan terapis ke bed. Kemudian tangan terapis diletakkan pada pergelangan kaki pasien, pasien diminta untuk menekan tangan terapis. Gerakan dilakukan 5 -10 kali hitungan diselingi dengan menarik nafas dalam untuk rileksasi, gerakan ini diulang 4 kali.

3. Passive exercise
a. Rileks passive movement
Tujuan dari latihan ini yaitu mencegah terjadinya keterbatasan gerak. Latihan dilakukan secara hati – hati pada hari pertama post operasi dengan posisi awal pasien terlentang dimana pergelangan kaki pada tungkai yang sakit tersangga dengan baik oleh bed. Posisi terapis homolateral pada ankle yang dilatih. Satu tangan terapis memfiksasi pada pergelangan kaki, tangan yang lain memegang tumit. Posisi pasien rileks, penguluran diawali pada sendi ankle kemudian dilanjutkan gerakan dorsi fleksi dan plantar fleksi secara bergantian.
b. Force passive movement
Tujuan dari latihan ini adalah untuk meningkatkan lingkup gerak sendi pergelangan kaki. Latihan diberikan beberapa hari setelah operasi. Tehnik pelaksanaan sama dengan rileks passive movement tetapi pada akkhir gerakan diberikan penekanan. Gerakan dilakukan 8 kali hitungan dengan 2 kali pengulangan.
4. Free active movement
Tujuan dilakukannya free active movement adalah untuk memelihara luas gerak sendi. Latihan dilakukan pada sendi pergelangan kaki, jari-jari pada kedua tungkai. Serta pasien bebas melakukan gerakan sendiri tanpa bantuan. Posisi pasien tidur terlentang atau bisa juga dengan duduk. Pada sendi pergelangan kaki dengan melakukan gerakan dorsal - plantar fleksi, inverse - eversi dan pada jari - jari kaki dengan melakukan gerakan fleksi - ekstensi, adduksi - abduksi. Gerakan ini dilakukan 8 kali hitungan dengan 2 kali pengulangan.
5. Hold relax
Tujuan dari latihan adalah untuk menambah luas gerak sendi pergelangan kaki, mengurangi nyeri dan rileksasi otot. Posisi awal pasien tidur terlentang sementara terapis di samping bed. Salah satu tangan terapis fiksasi lutut pasien dan tangan satunya diletakkan diatas ankle. Gerakan dilakukan secara aktif maupun pasif pada pola agonis hingga batas keterbatasan gerak pasien dimana nyeri mulai timbul. Pola gerak keterbatasan untuk gerak fleksi adalah fleksi – adduksi – eksorotasi dan fleksi – abduksi – endorotasi. Sedangkan untuk keterbatasan gerak ekstensi adalah ekstensi – abduksi – endorotasi dan ekstensi – adduksi – eksorotasi. Terapis memberi tahanan yang meningkat secara perlahan. Kemudian terapis memberi aba-aba "pertahankan disini", kemudian diikuti rileksasi pada pola antagonisnya kemudian digerakkan secara aktif maupun pasif kearah antagonis. Gerakan ini dilakukan 5 - 8 kali pengulangan (Yulianto Wahyono, 2002).
6. Latihan jalan
Dari posisi pasien duduk ongkang-ongkang ( high sitting ), tungkai yang sehat turun dengan kedua tangan berpegangan pada bed. Sedang tungkai yang sakit mengikuti turun dengan disangga tangan terapis tanpa menapak pada lantai. Sebagai awal latihan jalan terapis dapat melatih pasien dengan walker jika pasien sudah lanjut usia dan dengan menggunakan kruk jika pasien masih relatif muda atau keseimbangan pasien masih baik dengan dibantu terapis, pasien berdiri dengan kaki menggantung atau Non Weight Bearing (NWB) dengan 2 kruk pada hari ketiga dengan threepoint gait metode swing to kemudian ditingkatkan dengan Partial Weight Bearing (PWB) jika sudah terjadi pembentukan callus kurang lebih dalam jangka waktu 2 atau 3 minggu. Dosis awal latihan 30% menumpu berat badan lalu ditingkatkan menjadi 80% menumpu berat badan dan ditingkatkan lagi dengan latihan Full Weight Bearing.
7. Edukasi
Bila pasien sudah pulang, terapis bisa memberikan program latihan yang harus dilakukan dan memberikan penjelasan tentang aktivitas yang harus dihindari agar tidak terjadi refraktur. Salah satunya pasien harus melaksanakan program latihan yang diberikan oleh terapis untuk mengembalikan kemampuan fungsional pasien, seperti menggerakkan anggota tubuh untuk mencegah kekakuan dan atrofi otot, mengelevasikan kaki bila terasa nyeri, menghindari penumpuan berat badan berlebih pada tungkai yang mengalami fraktur. Dan yang terpenting adalah melatih kemandirian pasien dalam melakukan aktivitas sehari – hari sehingga tidak selalu tergantung dengan orang lain.
D. Rencana Evaluasi
Evaluasi pelaksanaan terapi pada kondisi paska operasi fraktur cruris 1/3 distal dilakukan dengan 2 tahap yaitu evaluasi sebelum pelaksanaan terapi dan sesudah diberikannya terapi yang terakhir. Evaluasi ini meliputi (1) oedem dengan menggunakan midline dan dibandingkan dengan sisi yang sehat, (2) nilai tentang derajat nyeri dengan Visual Analogue Scale (VAS), (3) luas gerak sendi pada ankle dengan menggunakan goniometer dan membandingkan dengan luas gerak sendi normal, (4) kemampuan fungsional jalan dengan melihat perkembangan dari penggunaan alat bantu jalan dan pola jalan dengan menggunakan skala Jette.

DAFTAR PUSTAKA
Adams, C. J, 1992; Outline of Fracture Including Joint Injuries; Tenth edition, Churchill Livingstone.

Appley, G. A and Solomon, Louis, 1995; Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley; Edisi ketujuh, Widya Medika, Jakarta.

Basmaijan, John, 1978; Theraupetic Exercise; Third edition, The William and Wilknis Baltimore, London.

Daniels and Wortinghams, 1995; Muscle Testing; Sixth edition, W. B Saunders Company, USA.

Data RSO Dr. Soeharso Surakarta, 2005; Jurnal Penderita Fraktur Cruris; RSO Dr. Soeharso Surakarta.

Garrison, S. J, 1996; Dasar-dasar Terapi Latihan dan Rehabilitasi Fisik; Terjemahan Hipocrates, Jakarta.

Gartland, John, 1974; Fundamental of Orthopedics; Second edition, W. B. Sanders Company, Philadelpia.

Kapandji, I. A, 1987; The Physiologi of the Joint; 2nd edition, Churchill Livingstone, Edinburg, London, and New York

ASPEK FISIOTERAPI SYNDROME NYERI BAHU

ASPEK FISIOTERAPI SYNDROME NYERI BAHU

Oleh: Heru Purbo Kuntoro, Dipl. P. T, M. Kes

Sindroma nyeri bahu hampir selalu didahului atau ditandai adanya rasa nyeri pada bahu terutama pada saat melakukan aktifitas gerakan yang melibatkan sendi bahu sehingga yang bersangkutan ketakutan menggerakkan sendi bahu. Keadaan seperti ini apabila dibiarkan dalam wktu yang relatif lama menjadikan bahu akan menjadi kaku. Beberapa faktor penyebab dapat dikelompokkan menjadi:

  1. Kelompok Muskuloskeletal
  2. Kelompok Neurogenik
  3. Kelompok Vaskuler
  4. Kelompok Nyeri Rujukan
  5. Kelompok Persendian (Colliet 1981)

Secara praktis fisioterapi untuk mempermudah diagnosis kerja membagi faktor penyebab nyeri menjadi:

  1. Faktor gerak dan fungsional (movement & function) dan
  2. Faktor penyebab Neurogenik yang berkaitan dengan nyeri rujukan dari organ dalam interkostal dan abdominal yang se-segmen dengan persyarafan sympatis asli dan atau nyeri rujukan dari persyarafan sympatis perifer yang sesegmen dengan persyarafan somatis sendi bahu.

I. FAKTOR PENYEBAB DAN GERAK FUNGSI

Gerak atau aktifitas kerja fungsional sehari-hari yang membebani struktur persendian bahu, misalnya pada karyawan tukang cat, pemain tennis, juru ketik dan sebagainya yang terkait dengan aktivitas gerak bahu.

Pada kelompok orang-orang tersebut, nyeri bahu terjadi oleh karena aktivitas yang dilakukan pada posisi abduksi-elevasi sedikit eksorotasi. Pada aktivitas gerak ini maka peran dan kerja otot “rotator cuff” terutama m. supraspinatus sering terjadi impangement (terjepit) antara kaput humeri dan akromion atau ligamentum coraco akromiale.

Keadaan ini sangat potensial menimbulkan cedera pada otot pada supraspinatus dan yang bersangkutan sering mengeluh pegal dan nyeri. Mekanisme yang sama dapat terjadi otot kelompok “rotator cuff” yang lain berdasarkan pada gerak yang terjadi dan melekat karena kerja otot apa yang dominan.

Gambar: m. supraspinatus

Penyebab nyeri gerak dan fungsi, sangat erat kaitannya dengan mekanisme gerak yang terjadi pada sendi bahu baik secara osteokinematik maupun secara orthokinematik. Mengingat bahwa secara anatomis pergerakan sendi bahu melibatkan banyak persendian (8 sendi) yaitu : glenohumeral, suprahumeral, acromioclavicular, scapulo cathalis, sterno clavicular, kostosternal, costa vertebralis dan vertebralis cervical 4 s/d thoracal 8, maka proses-proses patologik yang termasuk dalam nyeri bahu juga banyak macamnya.

Gambar: sendi gerak

Nyeri bahu dengan penyebab gerak dan fungsi yang paling sering terjadi adalah disebabkan oleh karena tendinitis supraspinatus, ruptur rotator cuff, bursitis dan kapsulitis adhesiva. Semua keadaan sering disebut dengan frozen shoulder atau perioartritis humero & kapulari.

Satu hal yang perlu dan penting diperhatikan adalah karakterisitik keterbatasan yang spesifik menunjukkan bahwa toper lesi sudah diikuti kontraktur dari kapsel sendi. Dengan pemahaman ini maka intervensi rasional fisioterapis yang paling penting adalah mobilisasi sendi dengan pendekatan manipulatif disamping intervensi yang lain.

Pada gejala yang non spesifik pada nyeri bahu pada umumnya sifat keterbatasan dan nyeri tidak mengikuti pola yang spesifik, sering disebut “non capsulair pattern” keterbatasan bukan pada kapsuler (non kapsuler).

Keluhan nyeri pada sendi bahu yang bersifat non kapsuler dapat terjadi oleh karena kelainan yang bersifat “impagement” dan kelainan neurologis yang bersifat syndroma. Secara klinis gambaran patologis nyeri sendi bahu dapat dapat dicermati dari beberapa kondisi sebagai berikut :

1. Gangguan Myotakal Pada “Rotator Cuff”Yang Meliputi:

a) TENDINITIS

Nyeri bahu pada pekerja yang dalam aktifitasnya harus mengangkat beban berat, bukan disebabkan oleh proses degenerasi, melainkan terjadi bila lengan harus diangkat sebatas atau melebihi tinggi akronion. Posisi yang sedemikian ini bila berlangsung terus-menerus juga akan menyebabkan terjadinya iskemia pada tendon.


Gambar 2: sirkulasi darah daerah bahu

a. Sirkulasi ke “rotator cuff”

b. Daerah Iskemia akibat tarikan. Iskemia ini selanjutnya dapat mengakibatkan terjadinya atropi kelemahan otot daerah pundak sehingga daerah tersebut kelihatan kempis. Degenerasi yang progresif pada “rotator cuff” biasa terjadi pada mereka yang kurang/tidak mewaspadai adanya rasa nyeri dan gangguan fungsi pada bahu. Pada decade ke-5, kebanyakan otot “rotator cuff”telah mulai tertarik serta memperlihatkan tanda-tanda penipisan dan fibrotisasi. Penipisan dan degenerasi ini terutama terjadi pada daerah kritis (critical zone).


Pada keadaan lebih lanjut, kemungkinan terjadinya ruptur ringan akan bertambah lebar, pada keadaan ini proses degenerasi akan diikuti erosi pada tuberkulum humeri. Erosi yang terjadi menekan tendon biceps sehingga sulcus bisipitalis pada kondisi parah seolah-olah menghilang. Bursa sub akromialis menjadi ikut terjepit di daerah tersebut sehingga dinding bursa menebal.


Gambar 4. : Proses terjadinya degenerasi

Bila terjadi ruptur tendon atau klasifikasi, dinding bursa ini menjadi tegang. Permukaan bawah akronion oleh adanya gesekan dan tekanan dari humerus, akan mengeras dan menebal.

Pertambahan usia harus dipertimbangkan sebagai factor yang berperan penting dalam proses tendinitas degenerative, meskipun factor-faktor yang lain juga memegang peranan. Pertambahan usia juga mempengaruhi luas gerak sendi, yang disebabkan oleh perubahan posisi scapula. Perubahan posisi scapula ini sebagai akibat dari bertambahnya lengkung kiposis torakal karena degenerasi diskus intervertebralis.

Kalsifikasi Pada Tendinitis

Penimbunan kristal kalsium fosfat dan kalsium karbonat pada “rotator cuff” sangat sering terjadi. Garam ini tertimbun dalam tendon, ligamen, aponeurosis dan kapsul sendi serta dinding pembuluh darah. Penimbunan ini berhubungan dengan perubahan degenerasi. Umumnya terjadi pada daerah kritis dimana degenerasi ini dapat menyebabkan ruptur atau nekrosis pada tempat penimbunan kalsium. Secara sederhana proses terjadinya kalsifikasi pada tendonitis dapat dilihat pada gambar 5.


Gambar 5 : Proses terjadinya calcific tendonitis

A. Tendon M. Supra spinatus (cuff) antara lig. Coraco acromial dan caput humeri.

B. Tekanan yang berulang karena kegiatan sehari-hari serta posisi kerja yang slah.

C. Perubahan degeneratif pada critical zone

Penimbunan pertama kali didapatkan di dalam tendon, kemudian menuju permukaan, selanjutnya ruptur ke atas menuju ruan di bawah bursa subdeltoid. Evakuasi kalsium dari timbunan yang ruptur juga sementara saja dan rasa nyeri ini kemudian dapat timbul kembali. Evakuasi kalsium ke ruang bawah bursa akan menekan ke atas ke arah dasar bursa. Dengan iritasi dan tekanan, timbunan ini dapat ruptur ke dalam bursa itu sendiri. Ruptur ini terjadi akut dan menimbulkan nyeri hebat. Di dalam bursa timbunan ini dapat meluas ke lateral maupun distal (medial) sehingga berbentuk seperti dumbbell dengan pemisahnya adalah ligamentum korakoakromialis.

Dalam keadaan ini baik abduksi maupun adduksi bahu tidak lagi dapat dilakukan sepenuhnya (akan terganggu). Bahu biasanya terpaku dalam keadaan sedikit abduksi (30 s/d 40 derajat) yang akan menghambat gerakan bahu ke semua arah.

Radang bursa yang terjadi berulang kali oleh karena adanya tekanan yang terus-menerus dapat menyebabkan penebalan dinding bursa, pengentalan cairan bursa dan selanjutnya perlekatan dinding dasar dengan atas bursa, sehingga timbul perikapsulitis ahesive. Akhirnya timbul “frozen shoulder” (bahu beku).


Gambar 6 : Evolusi dari kalsifikasi pada tendonitis dan terjadinya “bursitis”

  1. Posisi normal tendon supra spinatus dan bursa sub deltoid.
  2. Letak timbunan kalsium pada tendon “rotator cuff”.
  3. timbunan kalsium mulai keluar ke ruang di bawah bursa.
  4. Evakuasi sebagai kalsium, namun sebagian besar masih berada dalam tendon.
  5. Evakuasi berlanjut, ruptur ke dalam bursa.
  6. Perluasan di dalam bursa terbentuk “dumbbell”
  7. Perlekatan dinding bursa oleh karena penebalan dinding dasar dan atap bursa serta pengentalan cairan bursa.

Tendinitis pada daerah bahu yang sering terjadi adalah tendinitis supraspinatus dan tendinitis bisipitalis.

Tendinitis Supraspinatus

Tendon otot supraspinatus sebelum berinsersio pada tuberkulum majus humeri, akan melewati terowongan pada daerah bahu yang dibentuk oleh kaput humeri (dengan bungkus kapsul sendi glenohunerale) sebagai alasnya, dan akromion serta ligamentum korako akromiale sebagai penutup bagian atasnya. Disini tendon tersebut akan saling bertumpang tindih dengan tendon dari kaput longus biseps. Adanya gesekan dan penekanan yang berulang-ulang serta dalam jangka waktu yang lama oleh tendon biseps ini akan mengakibatkan kerusakan tendon otot supraspinatus dan berlanjut sebagai tendinitis supraspinatus.

Tendinitis supra spinatus dapat disertai ataupun tanpa adanya kalsifikasi. Ada tidaknya kalsifikasi tidak mempunyai hubungan langsung dengan ada tidaknya rasa nyeri.

Penderita tendinitis biasanya datang dengan keluhan nyeri bahu yang disertai keterbatasan gerak sendi bahu. Bila ditelusuri, daerah rasa nyerinya adalah di seluruh daerah sendi bahu. Rasa nyeri ini dapat kumat-kumatan, yang timbul sewaktu mengangkat bahu. Pada malam hari nyeri ini dirasakan terus-menerus, dan bertambahnya nyeri bila lengan diangkat. Keluhan umum yang biasanya disampaikan adalah : kesulitan memakai baju, menyisir rambut, memasang konde atau kalau akan mengambil bumbu dapur di rak gantung bahunya terasa nyeri.

Pada pemeriksaan gerak dijumpai adanya:

  • Painfull arc supraspinatus 0-60 derajat
  • Keterbatasan gerak sendi bahu, terutama abduksi dan eksorotasi.
  • Nyeri tekan pada daerah tendon otot supraspinatus.
  • Tes “Apley Scratch” dan “Mosley”: positif. (Kedua tes ini bukan merupakan tes khusus bagi tendinitis supraspinatus saja.
  • Tes “Apley Scratch” sedang tes dan “Mosley” juga positif pada kerusakan otot “rotator cuff” yang lain).

Tendinitis Bisipitalis

Tendon otot bisep dapat mengalami kerusakan secara tersendiri, meskipun berada bersama-sama tendon otot supraspinatus. Tendenitis ini biasanya merupakan reaksi terhadap adanya trauma akibat jatuh atau dipukul pada bahu, dengan lengan dalam posisi adduksi serta lengan bawah supinasi. Atau dapat juga terjadi pada orang-orang yang bekerja keras dengan posisi seperti tersebut diatas dan secara berulang kali.

Tendinitis bisipitalis memberi rasa nyeri pada bagian depan lengan atas. Penderitanya biasanya datang dengan keluhan : “ kalau mau mengangkat benda berat bahunya sakit”, atau “kalau membawa jinjingan di pasar bahunya terasa nyeri”.

Pemeriksaan fisik pada penderita tendinitis bisipitalis didapatkan adanya:

§ Adduksi sendi bahu terbatas

§ Nyeri tekan pada tendon otot biseps (pada sulkus bisipitalis/sulkus intertuberkularis).

§ Tes “Yergason” disamping timbul nyeri juga didapati penonjolan disamping medial tuberkulum minus humeri, berarti tendon otot bisep tergelinsir dan berada di luar sulkus bisipitalis (terjadi penipisan tuberkulum).

B. BURSITIS

Merupakan peradapan dari Bursa. Kelainan ini jarang primer, tetapi biasanya sekunder terhadap kelainan degenerasi dari “rotator cuff”. Bursitis subdeltoideus.

Penderita bursitis subkromialis, keluhan pertamanya adalah “tidak dapat mengangkat lengan ke samping (abduksi aktif)”, tetapi sebelumnya sudah merasa pegal-pegal di bahu. Lokasi nyeri yang dirasakan adalah pada lengan atas atau tepatnya pada insersio otot deltoideus di tuberositas deltoidea humeri. Nyeri ini merupakan nyeri rujukan dari bursitis sub kromialis yang khas sekali. Ini dapat dibuktikan dengan penekanan pada tuberkulum humeri. Tidak adanya nyeri tekan di situ berarti nyeri rujukan.

Bursa subdeltoideus merupakan lapisan sebelah dalam dari otot deltoideus dan akronim, serta lapisan bagian luar dari otot “rotator cuff”. Bursa ini sedikit cairan. Gerakan abduksi dan fleksi lengan atas akan menyebabkan dua lapisan dinding bursa tersebut saling bergesekan. Suatu peradangan pada tendon juga akan menyebabkan peradangan pada bursa.


Pemeriksaan fisik dijumpai:

  • Painfull arc sub acromialis 70 – 120 derajat.
  • Tes flexi siku melawan tahanan pada posisi flexi 90 derajat menjadikan rasa nyeri.

C. RUPTUR “ROTATOR CUFF”

Ruptur “rotator cuff” ternyata terjadi lebih sering daripada yang kita duga. Semula diagnosa ini hanya dipertimbangkan bagi mereka yang bekerja berat dan cenderung mudah mengalami trauma hebat. Ternyata pada autopsi sering terlihat adanya ruptur “rotator cuff” pada golongan umur empat puluh tahun, meskipun tanpa keluhan pada bahu semasa hidup.

Otot “rotator cuff” dapat robek akibat kecelakaan. Bagi penderita akan langsung merasakan nyeri pada daerah persendian bahu bagian atas. Hal ini umum terjadi pada anak-anak atau dewasa muda. Pada orang tua, ruptur dapat terjadi akibat trauma yang ringan saja, disebabkan oleh adanya degenerasi pada “rotator cuff”. Untuk keadaan ini, biasanya tanpa disertai keluhan nyeri. Keluhannya hanya berupa kesulitan mengabduksi lengan.

Pada pemeriksaan fisik, umumnya penderita dapat melakukan abduksi sampai 90 derajat, namun bila diminta meneruskan abduksi tersebut (elevasi), tidak akan dapat dan bahkan mungkin lengan atas jatuh. Pada pemeriksaan kekuatan otot (MMI), nilai kekuatan otot tidak akan lebih dari 3 (Fair). Gerak pasif biasanya tidak menimbulkan rasa nyeri, juga tidak ada gangguan. Tes “Moseley” atau tes “lengan jauh” akan menunjukkan hasil yang positif. Bila tes “Moseley” positif, perlu dilakukan pemeriksaan arterografi.

  1. Kapsulitis Adhesiva

Untuk semua gangguan pada sendi bahu yang menimbulkan nyeri dan keterbatasan luas gerak sendi (R.O.M) istilah yang luas dipergunakan “Frozen Shoulder”. Karenanya ada berbagai macam keadaan yang termasuk dalam “Frozen Shoulder”. Kondisi ini sering dihubungkan dengan : Kapsulitis adhesiva, periartritis, perikapsulitis, bursitis obliteratif, komponen bahu dari “Shoulder hand syndrome” dan periartritis skapulohumeral.

Kapsulitis adhesive ditandai dengan adanya keterbatasan luas gerak sendi glenohumeral yang nyata, baik gerakan aktif maupun pasif. Ini adalah suatu gambaran klinis yang dapat menyertai tendinitis, infark myokard, diabetes melitus, fraktur immobilisasi berkepanjangan atau redikulitis servikalis. Keadaan ini biasanya unilateral, terjadi pada usia antara 45 – 60 tahun dan lebih sering pada wanita. Nyeri dirasakan pada daerah otot deltoideus. Bila terjadi pada malam hari sering sampai mengganggu tidur.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya kesukaran penderita dalam mengangkat lengannya (abduksi), sehingga penderita akan melakukan dengan mengangkat bahunya (= srugging). Juga dapat dijumpai adanya atropi otot gelang bahu (dalam berbagai tingkatan). Sedangkan pemerikasaan neurologik biasanya dalam batas normal. Sifat keterbatasan meliputi pola kapsuler.

II. FAKTOR PENYEBAB PENYAKIT NEUROGENI

Nyeri bahu yang diakibatkan oleh factor neurogenik dapat bersifat

§ Radikuler apabila terjadi tekanan pada akar saraf servikal yang menginervasi sendi bahu

§ Radikuler akibat entrapment pada m. supra scapular, dorso scapular, lesi plexos bracialisTumor myelum

§ Artero sclerotic occlusion

§ Posterior primary rami lower thoracic nerve entrapment

Dan Nyeri rujukan berasal dari segment somatic, sympatis perifer rami sympatis asli yang menginervasi organ intra thoracal dan intra abdominal.


Gambar 6. Nyeri akibat faktor neurogenik

Gangguan nyeri bahu akibat kelainan neurologis dan entrapment pada saraf tepi meliputi:

A. Tekanan Pada Akar Saraf Servikal

Cervikal Nerve Root pressure = "cervical radiculitis = cervical entrapment.

Penyebab Tekanan Akar Saraf Servikal antara lain:

§ Cervical spendylosis.

§ Cervical disk herniation.

Kelainan pada servical yang menyebabkan nyeri pada bahu ini biasanya disebabkan oleh karena kompresi akar saraf cervikal yang terjadi di antara ruang vertebraservikalis V - VI atau VI - VII dengan kompresi pada akar saraf C6 atau C7.

Pada gangguan ini biasanya dirasakan leher kaku dan nyeri, dan timbu1 "paresthesia" yang menjalar dan leher turun sisi laterial bahu, kelengan dan kadang sarnpai pada jari-jari.

Kelemahan pada segmen myotom dapat pula terjadi bila tekanan akar saraf ini disebabkan oleh karena herniasi diskus servikalis, fleksi leher akan rnemyebabkan rasa sakit bertambah dan begitu pula rasa paraesthesia. ("degenerative arthritis"), ekstensi leher akan menekankan sendi luschka yang hepertropi ke akar saraf yang terjepit itu.

Komposisi akar saraf C6 menyebabkan

§ Nyeri dan kaku pada leer

§ Rasa nyeri dan tebal dirambatkan ke ibu jari dan sisi radial tangan.

§ Dijumpai kelemahan pada bicep

§ Berkurangnya reflek bicep

§ Dijumpai rasa nyeri alih (“referred pain”) di bahu yang samar, dimana “nyeri bahu" hanya dirasa betah didaerah deltoideus bagian lateral dan daerah infra scapula atas.

Kompresi akar saraf C7 menyebabkan:

§ Rasa bebal dan nyeri yang dialihkan ke jari tengah dan jari telunjuk dan punggung tangan dan pada tingkat lebih lanjut terjadi hiperaestesi di dermatom C7.

§ Terjadi kelemahan dan atropi pada m. trisep

§ Penurunan reflek tendon trisep.

Menurut Caillet penyakit diskus servikal dengan osteofit biasanya asimtomatik dan menimbulkan nyeri karena trauma atau fres pastural, atau ketegangan emosi. Dikatakannya bahwa sikap tubuh (posture) saja dapat merupakan trauma yang mengawali nyeri servikal atau Radikuler, misalnya ketegang otot kuduk karena keletihan akibat kontraksi isometrik berkepanjangan (misalnya berjam-jam kerja atau membaca pada meja yang tidak memenuhi syarat-syarat ergonomi mengakibatkan penarikan terhadap saraf spinal sehingga terjadi nyeri pada akar saraf atau saraf yang melintasi foramen intervertebral yang menyempit tadi. Sikap kepala kearah anterior atas dasar sikap punggung yang membungkuk, menyebabkan pertambahan lordosis servikal dengan penyempitan foramen intervetebrale dan saling mendekatnya procesus artikulasio yang berhadapan.

Depresi merupakan kondisi emosi yang paling utama yang menyebabkan sikap bungkuk. Diagram dan penyakit diskogenik servikal terutama berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan tambahan seperti photo polos vertebra servicalis, EMG dan MRI serta pemeriksaan yang lain perlu dipertimbangkan menurut kebutuhan selain pengobatan baik dengan analgetika maupun traksi leher, “Collar immobilization”, latihan otot leher dan sikap kukuh perlu pula dengan pendekatan fisik kiatrik terhadap depresinya yang kadang merupakan faktor dasar nyeri bahu ini.

B. Tumor Myelum

Tumor di myelum di daerah servikal dapat memberikan gejala serupa herniasi diskus servikal pada stadium awalnya tetapi biasanya dijumpai keluhan dan gejala yang progesip.

Laesi tunggal pada akar saraf kemudi disusul dengan laesi multipel dan bilateral, yang kenudian menimbulkan tanda-tanda laesi upper motor neuron dengan kelemahan yang kemudian disusul dengan kelumpuhan dan inkoordinasasi dari kaki dan disfungsi dan kandung kemih dan rektun.

Diagnosis ditegakkan dengan riwayat keluhan dan gejala yang progresif tadi, adanya kelainan yang multipel dan tanda-tanda UMN (Upper Motor Neuron) lesi. Pemeriksaan tambahan dimulai dengan fungsi lumbal (harus hati-hati), caudografi atau CT scan perlu untuk tindakan selanjutnya.

C. Laesi Pada Plexsus Brachialis

Pleksus brachialis dapat merupakan sumber rasa nyeri di daerah bahu, dan penyebabnya dapat oleh karena trauma dan mekanis: iritasi non traumata. Trauma pada pleksus brachialis dapat disebabkan oleh karena luka tembus, dislokasi akibat fraktur, atau akibat roda paksa tarikan.

Hal-hal tersebut diatas menyebabkan rasa nyeri pada bahu dan dapat dijumpai gangguan sensorik dan motorik dan banyak akar saraf dan C5 sampai Tl dan untuk menentukan tempat lesi secara tepat dapat dilakukan pemeriksaan dengan EMG dan MRI.

Kompresi pleksus brachialis yang mekanik non traurnata dapat disebabkan oleh karena keadaan klinik yang disebabka oleh karena sidroma rongga servikal dorsalis (“Cervica dorsal autlet syndroma”) yang rneliputi sindroma pektoralis minor, sindroma kosto klavikula dan sindroma iga servikal.

Gejala yang ditimbulkan disebabkan oleb karena gangguan pada pleksus brachialis atau arteri subclavia, atau keduanya, olek karena tulang, ligament atau otot-otot diantara vertebral servikal dan batas bawah. Daerah tersering yang terkena adalah di regio supra klavikula di daerah yang padat yang terisi dengan iga I, klavikula, dan vertebral servikal yang terbawah dengan jaringan didalamnya.

D. Sindroma Skapulokostal

Penyebab terserang dari nyeri bahu dengan rasa nyeri lokal dibahu dengan perambatan kebagian distal lengan dan tangan adalah sindroma skapulokostal. Dikatakan sindroma ini dijumpai 90 % dan semua rasa nyeri didaerah servikobrachial.

Sindroma ini disebut juga "postural fatique" dan akan mempengaruhi penderita selama masa istirahat. Gaya berat komponen skapula menyebabkan terjadinya sindroma ini. Sindroma ini juga menyebabkan kompresi neurovaskular di fossa supraklavikula yang gejalanya sama dengan gejala yang dijumpai pada igaservikal, sindroma skalenus anterior, sindroma klavikokostal dan sindrorna pektoralis minor.

Gejala ini terjadi pada penderita waktu istirahat pada posisi tegak (duduk atau berdiri). Prinsip utama dan sindroma ini adalah rotasi ke distal dari gerakan skapulokostal dan skapula yang memutar bagian redial dan superior skapula ke proksimal dan lateral. Akibat gerakan penarikan skapula kebawah menyebabkan tarikan pada otot-otot levator scapula, yang menyebabkan otot-otot ini terangsang dan rnengalami iskemia dan terjadilah spasme.

Dan timbullah gejala-gejala seperti dibawah ini:

1. Rasa nyeri hemikranial (nyeri kepala sesisih) yang disebabkan karena salah satu atau semua penyebab dibawah ini:

§ Tekanan pada n. oksipitalis magnus oleh karena regangan fascia cervicalis profunda segitiga posterior leher).

§ Tegangan pada periosteum kraniun pada perlekatan otot trapezius atau elevator skapula.

§ Nyeri Rujukan (referred paint) dari leher akibat lordosis berlebihan yang menyebabkan penyempitan akar saraf pada foramen intervertebralis.

2. Rasa nyeri pada sisi posterolateral dan leher. Gejala radikuler kebawah yang ipsilateral ekstremitas atas baik vaskuler atauneurologik atau keduanya.Paresthesia dapat unilateral atau bilateral dan biasanya pada distribusi dari n. ulnaris. Akibat kiposis torakalis pada “fatique posture" dan saraf torakalis V dan VI dapat menyebabkan iritasi dan menyebabkan nyeri pada sudut inferior skapula.

Diagnosis didasarkan atas:

§ Observasi dari sikap : “dorsal round back khyposis dengan lordosis servikalis kompensata yang meningkat dan kepala terdorong kemuka.

§ Adanya bahu yang lentur riwayat dari penyabab yang menyebabkan sikap ini juga membantu untuk menentukan diagnosa.

§ Menimbulkan daerah pencetus nyeri (trigger point area) di otot-otot scapula yang meliputi hiperalgesia, hiperasthesi dan allodynia Untuk ini diperlukan pemeriksaan yang teliti untuk mencari titik pencetus (trigger point area) atau daerah nyeri rujukan dengan tekanan digital.

E. Iga Servikal = "Carvical Rib”

Pada umumnya hanya pada vertebra thorakalis saja yang terdapat tulang rusuk, tetapi pada 1 % populasi terutama pada wanita terbentuk rusuk tambahan pada daerah servikal yang bilateral, dan jarang rusuk tambahan ini memberikan gejala. Bila menimbulkan gejala dapat gejala timbul karena gangguan vaskuler, neurologik atau keduanya. Keluhan Neurologi dapat berupa : kelainan sensoris antara lain: nyeri, hiperasthesi, para asthesia atau hipoasthesia dan kelainan motoris berupa kelemahan otot pernapasan.

Gangguan neurologik ini akibat gangguan pada nerviservikalis VIII dan nervithoracalis I, dengan rasa sakit dan tebal pada sisi ulnair tangan dan pada jari manis dan jari kelingking: kelemahan otot-otot kecil ditangan dapat pula terjadi dan biasanya terdapat pula gangguan vaskuler.

Penanganan untuk iga servikal ini harus intensif, secara konservatif dilakukan:

§ Perbaikan sikap tubuh

§ Perbaikan tonus otot pada sendi bahu

§ Pemasangan brace untuk membuat elevasi bahu pun dapat dikerjakan.

Tindakan pembedahan dengan memotong iga tambahan tersebut atau otot sealenus, dilakukan bila terdapat gangguan pada arteri subclavia yang ditandai dengan kepucatan, rasa dingin, kelemahan otot. Untuk mengatasi gangguan arteri dilakukan retrograde arterografi.

F. Thoracic Outlet Compression Síndrome

1. Sindroma skalenus anterior (scalenii anticus syndrome). Keluhan utama sindroma skalenus anterior adalah adanya rasa bebal dan bergetar pada lengan, tangan dan jari-jari dan rasa yang seperti ditusuk ini seringkali pada waktu malam hari yang sering membangunkan penderita. Kelemahan pada jari-jari didapatkan terutama bila ada rasa sakit dan dirasakan sebagai rasa sakit yang dalam dan seperti ditusuk.

Pemeriksaan fisik biasanya tidak terdapat kelainan, dan pemeriksaan tertentu misalnya dengan “adson test”, yaitu dengan memutar kepala pada sisi keluhan, dan kepala diekstensikan ke belakang, lengan diabduksikan, dan penderita disuruh bernapas dalam. Dengan tes ini timbul rasa nyeri dan denyut nadi radial akan berubah.

Mekanisine tes ini adalah sebagai berikut: Rotasi dan posisi ekstensi leher akan menyebabkan otot Scaleneus dalam keadaan tegang, dan ini akan menyempitkan sudut diantara otot itu dengan iga pertama, dengan inspirasi dalam yang melekatkan m. scaleneus yang berfungsi sebagai otot tambahan pernapasan akan mengangkat iga dan ini akan menekan gabungan neurovaskuler yang ada. Spasme otot scalenus dapat disebabkan oleh karena sikap tubuh, stres karena pekerjaan, dan atau keadaan emosionil yang lama. Dan mungkin pula, spasme otot scalenus ini disebabkan oleh karena sekunder akibat radikulitis servikalis akibat spondylosis, penyakit diskogenik, atau fibrosis akar saraf.


Gambar: Thoracic Outlet

2. Sindroma klavikulokostal (klavikulokostal manuver) “Neurovascular bundle” dapat terjepit diantara iga pertama dan klavikula pada tempat dimana pleksus brachialis dan pembuluh arteri, vena melintas di iga pertama. Keluhan adalah serupa dengan sindroma skalenus anterior dan tanda yang dijumpai juga minimal. Keluhan dapat ditimbulkan dengan menyuruh penderita untuk menekan bahu kebawah dan kebelakang. Dan costo clavicularis manuver tesini mula-mula dikerjakan oleh penderita kemudian, secara pasif dilakukan tekanan kebawah oleh pemeriksa.

Bising (“bruit”) akan terdengar bila pembuluh darah tertekan dan akan timbul kembali bila di1epas, dan ini merupakan cara pemeriksaan klinis, yang terbaik. Faktor penyebabnya antara lain kelelahan, trauma, dan stress, jadi dengan perbaikan sikap dan meningkatkan tonus otot dan "endurance" dapat mengurangi keluhan.

3. Sindroma Pectoralis Minor. Sindroma ini juga disebut sindroma hiperabduksi otot pec-toralis minor berasal dan rusuk III, IV dan V dengan in-sertio diprosesus Coracoideus discapula; dan pleksus brachialis bersama-sama arteri axialis dan vena melintasi rusukI dibawah riun. pectoralis.

Keluhan bebal dan bergetar dan tangan timbul bila ter~a-di kompresi gabungan saraf dan pembuluh darah diantara rn. pectoralis minor dan iga pertama, dan dapat diulangi bila lengan penderita diangkat diatas kepala diabduksikan dan ditarik kebelakang; dan mi akan menyebabkan kompresi pa-da gabungan saraf dan pembuluh darah tadi (Wright Test). Faktor Penyebabnya sama dengan sindroma scalenusanticus dan sindroma klavikulokosta, dan pengobatannya juga sama.

G. Superior Pulmonary Sulcus Tumor

Ca didaerah apex paru atau lazimnya disebut Pancoast tumor, dan memberikan tekanan pada pleksus brachialis dan menimbulkan gejala. Rasa sakit yang timbul biasanya hebat dan difus dan sekitar daerah tangan dan bahu. Disamping itu tumor juga mengadakan penekanan pada untaian ganglion simpatikus di daerah thorak dan menyebabkan terjadi sindroma hernia.

Biasanya disertai pula dengan memburuknya keadaan umum adanya kelainan dan photo thorak dan pada biopsi kelenjar dijumpai kelainan. Dengan sendirinya pengobatan adalah dengan pembedahan dan radiasi yang kemudian bila dilakukan tindakan rehabilita dengan melakukan suatu rangkaian latihan.

H. Supra Scapula Entrapment

Rasa nyeri pada bahu dapat pula disebabkan oleh karena "entrapment' pada n. suprascapularis pada jalannya melalui foramen suprascapular.

Saraf ini berasal dari C5 - C6 berjalan dibe1akang pleksus brachialis ke tepi atas skapu1a, dan berjalan rnelalui insisura supra skapula, dimana ditutup oleh ljgamenturn tranversolis scapula. kemudian masuk ke dalam fossa supraspinatus dan mensarafi sendi bahu, sendi akromio klavikula dan otot supraspinatus dan infraspinatus.

Dan saraf ini merupakan saraf motoris yang penting, rasa sakit akan dirasakan didaerah yang dilayaninya dan dirasakan sebagai rasa sakit yang sangat terasa didalam dan sulit untuk dijelaskan.
Daerah bahu bagian posterior lateral mendapatkan daerah nyerinya. Dan sering didapatkan atropi dan kelemahan otot saraf akan merentang maksimal bila lengan dalam posisi adduksi didada.

Aduksi lebih lanjut akan menekan sendi skapula thora calis dan menyebabkan tarikan pada saraf. Trauma biasanya merupakan penyebab utama terutama bila terjadi pemisahan akromio klavikuler yang dapat menyebabkan skapula bergerak ke depan dan medial. Diagnosa dibuat dengan gera kan yang dapat menyebabkan rasa sakit dengan menggerakkan scapula kemuka dari melintasi rongga dada dan rasa nyeri dada dengan blokade djdaerah supraskapula. Penanganan dengan mengobati penyebabnya, imobilisasi scapula pada posisi sedemikian sehingga tidak didapatkan regangan saraf dan blokade pada saraf secara berulang.

I. Posterior Primari Rami Lower Thoracic Nerve Entrapment

Rami dorsalis n. thoracis lower memberikan cabang ke lateral melintasi segment thoracal 7 kemudian memberikan persyarafan ke rotator cuff dan kapsul sendi bagian posterior sendi bahu. Apabila ketegangan otot rhomboid yang dapat mengganggu mobilitas vertebrae thoracal maka akan menimbulkan iritasi pada serat thoracis lower sehingga nyeri pada regio bahu bagian posterior dirasakan menyengat karena saraf ini komponen yang utama di daerah sensoris.


Gambar: Posterior Primari Rami Lower Thoracic Nerve Entrapment

J. Dorsal Scapular Nerve Etrapment

N. scapula dorsalis mensarafi rhomboideus, dan berasal dari C5 dan kemudian sesudah keluar langsung masuk di otot skaleneus medius. Keadaan merangsang dengan setiap keadaan yang menyebabkan regangan otot, atau spasme dan otot-otot skaleneus.

Rasa sakit dirasakan tumpul dalam dan samar di daerah sisi medial skapula, karena saraf ini yang utama adalah motorik. Bila rasa sakit mengganggu dapat dilakukan pembedahan.

K. Arterio Sclerotic Occlusion

Arteno sklerosis dapat menyebabkan penyurnbatan dan akan mengurangi aliran darah dan rnenyebabkan denyut radialis berkurang. Keadaan ini menyebabkan "rasa nyeri claudication" bila penderita melakukan latihan yang berlebih dan sembuh bila istirahat. Sering terdengar bising sistolik dan diperlukan arteriogram/venogram untuk rnembedakan dengan menelusuri pada arteri innominata dan subclavia dengan/tanpa kompresi dan rusuk servikalis.

L. Bahu pada Hemiplegia

Penderita yang menga1ami gangguan pernbuluh dara otak (G.P.D.O.) kerap kali rnernpengaruhi bahunya dan menyebabkan disabilitas dan tidak jarang menyebabkan rasa nyeri. Kembalinya fungsi atau perbaikan fungsi dan bahu sangat penting untuk dapatnya melakukan aktifitas sehari-hari, kernbalinya fungsi tangan, keseimbangan tubuh, melakukan aktifitas rnemindahkan sesuatu dan ambulasi yang efektif. Tirnbulnya rasa nyeri akan mengurangi rehabilitasi penderita, dan nyeri bahu ini biasanya disebabkan oleh karena subluxatio dan sendi gleno humeral.

M. Nyeri Bahu Pasca Pembedahan

Pembedahan atas operasi sendi bahu biasanya dilakukan oleh adanya kerusakan struktur sendi yang sudah parah, sehingga tindakan konservatif tidak memungkinkan untuk dilaksanakan.

Salah satu contoh pembedahan sendi bahu adalah shoulder arthrocopy, sering dilakukan pada kondisi misalnya: kerusakan labium glenoidalis, ruptur rotator cuff, ruptur tendon biceps bracialis, dan kondisi lain yang menurut ortoped menyatakan indikasi.

Problem pasca pembedahan biasanya akan diikuti : oedema, sekitar sayatan. Nyeri dan gangguan mobilisasi. Tanda ini merupakan respon normal yang bersifat fisiologis.

Respon fisiologis penyembuhan kemudian akan segera diikuti oleh beberapa fase yaitu:

§ Fase pendarahan. Fase peradangan (oedema) menunjukkan adanya vasedilatasi.

§ Fase fibroblas (proliferasi) menunjukkan adanya pembentukan fibrinogen pada hari ke-2 dan setelah hari ke-4 sudah terbentuk jaringan endotel

§ Fase remodeling dengan proses fisiologis durasi 1-3 minggu pembentukan jaringan kolagen, durasi 2-3 minggu hingga 3 bulan terjadi remodeling. Durasi setelah 3 bulan pembentukan struktur secara normal.

Biasanya keluhan nyeri terjadi pada fase fibroblas dan awal remodeling. Keadaan ini aktivitas acceptor nyeri (nociceptor) berperan untuk mempertahankan keseimbangan fungsi vasodilatasi melalui keseimbangan vaso motor pada system sympathetic. Keluhan nyeri berangsur-angsur berkurang hingga pada fase remodeling akhir.

Apabila keluhan nyeri masih terjadi pada fase remodeling akhir yang sudah diikuti oleh tanda atau gejala sebagai berikut:

§ masih adanya oedema

§ hyperhidrosis atau hypohydrosis

§ distrophic change

§ vaso motor instability

§ bone reabsortion

§ decreated motor function

Maka aktivasi nociceptor dalam keadaan dis balance. Keadaan ini disebut dengan reflex symphatetic dystrophy syndrome. Maka hal ini sangat penting untuk dipahami mengingat intervensi secara rasional oleh fisioterapi berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan fisioterapi. Dalam menangani keluhan nyeri bahu pada umumnya dan kondisi pasca operasi pada khususnya.

Sifat nyeri dan keterbatasan gerak sendi bahu dapat menunjukkan pola yang spesifik yaitu: pola kapsuler dan bukan pola kapsuler. Pola kapsuler pada sendi bahu yaitu gerak eksorotasi paling nyeri dan terbatasan kemudian diikuti abduksi dan endorotasi, atau dengan kata lain: gerak eksorotasi lebih nyeri dan terbatas dibandingkan dengan gerak endorotasi. Bukan Pola Kapsuler sendi bahu yaitu keterbatasan nyeri yang dapat terjadi pada sebagian arah gerak atau ke segala arah tanpa mengikuti pola kapsuler.

Kesimpulan:

Sindroma nyeri bahu sangat komplek dan sulit untuk diidentifikasi satu persatu bagian secara detail. Guna memahami penyebab dan patologi sindroma nyeri bahu, maka dapat dikelompokkan menjadi :

1. Faktor Penyebab:

§ faktor penyebab gerak dan fungsi, yang terkait dengan aktifitas gerak dan struktur anatomi

§ faktor penyebab penyebab secara neurogenik yang berkaitan dengan keluhan neurologic yang menyertai baik secara langsung maupun tidak langsung yang berupa nyeri rujukan.

2. Berdasarkan sifat keluhan nyeri bahu dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu:

§ Kelompok spesifik, mengikuti pola kapsuler

§ Kelompok tidak spesifik sebagai kelompok yang bukan mengikuti pola kapsuler

Intervensi fisioterapi harus memahami sifat keluhan untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Pengertian Dari Beberapa Istilah

1. Pola Kapsuler

Keterbatasan gerak sendi yang spesifik mengikuti struktur kapsal sendi. Shoulder (glenohumeral) mengikuti keterbatasan yang paling terbatas yaitu eksorotator, abduksi dan endorotator.

2. Aktualitas

Keadaan nyata untuk menentukan derajat keluhan pada saat pemeriksaan dilaksanakan. Aktualitas ini menunjukkan aktivasi dari proses patologi yang terjadi.

a) Aktualitas Tinggi:

§ Keluhan nyeri yang tejadi pada saat istirahat dan malam hari

§ Keluhan nyeri bergerak dengan peningkatan ketegangan

§ Nyeri menjalar ke dorsal

§ Nyeri timbul saat mulai gerak sampai akhir gerak

§ Test dengan pembebanan (gerak melawan tahanan selalu timbul nyeri

b) Aktualitas Sedang

Keluhan nyeri antar aktualitas rendah dan tinggi:

i. Aktualitas Rendah

§ Keluhan nyeri tidak terjadi saat istirahat dan malam hari

§ Keluhan nyeri tidak terjadi pada saat ketegangan bergerak

§ Nyeri lebih terlokalisasi

§ Nyeri timbul terutama pada akhir gerak

§ Test dengan pembebanan timbul nyeri apabila berulang-ulang

ii. Impingement

Merupakan suatu sindroma akibat penekanan atau penarikan dari struktur alat gerak yang melintasi bangunan antara caput humeri dan coraco acromialis sewaktu lengan bergerak aktif flexi elevasi. Selama itu dapat terjadi dengan entrapment pada pembuluh darah (arteri/venum), saraf misalnya pada Thoracic Outlet Compression Syndrome (TOC).

  1. Painfull Arc

Sindroma nyeri yang timbul akibat penekanan pada tendon dan busa acromialis sewaktu gerakan shoulder mencapai lingkup gerak sendi antara 70 – 120 derajat.

  1. Tes Fisiometric melawan tahanan pada otot atas rotator cuff: eksorotasi, abduksi, endorotasi.
  2. PSI (Partial Shoulder Imobilitation)

Keterbatasan sebagian sendi bahu akibat mobilisasi, misalnya : flexi-elevasi, abduksi elevasi

  1. Tes Abduksi Glenohumeral

Posisi Pasien: duduk di kursi (stoel) kemudian lengan di abduksikan normal dengan sudut 90 derajat.

DAFTAR PUSTAKA

Bekkering G.E.. Eviidence Based Fyiotherapie hij patienten met Shouder Klachten

Wetensschpplijke onderbouwing van de KNGF-richtlijn. Nederlands Tijdschrift voor

Fysiotherapie. Jaargang III. 2001.

Cailliet R.. Cervical & Neck Pain. 3nded. Philadelphia : FA Davis Co. 1981.

De wolf A.N.. Onderzoek & Behandeling van weke delen :Bohn Staflen van Loghum Housten. Holland. 1994.

ILO. Eigonomic Check point Practical and Easy to Implement Solution forr Jmping safety Health and Working Condition. Geneva. 1 996.

Kisner C.. ThrapeuticExercize Foundations and Techniques. third edition. F.A. Davis company. Philadelphia. 1990

Kuntono H.P.. ManagementNyeri Muskuloskeletal. Temu Ilmiah Tahunan Fisioterapi XV. Semarang. 2000.

La Dou J.. Occupational Medicine. Appleton & Lange. California. 1990.

Mancini RM.. Muskuloskeletal Pain in : Halstead LS. Grabois M eds. Medical Rehabilitation. New York. Raven Press. 1995.

MH Pope. Review of studies on Seated Whole Body Vibration & Neuromuscular Pan, Departement of Environmental and occupational Medicine, University of Aberdeen. Scotland. UK. 1999.

Suma’mur, Ergonomi untuk Produktivitas Kerja, . CV Haji Mas Agung. Jakarta. 1995.